BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Di dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa tujuan kita membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang dapat survive (terus bertahan) dalam menghadapi berbagai kesulitan (Tilaar, 2004: 1) termasuk menghadapi masalah pendidikan. Pendidikan tidak bisa lepas dari kehidupan manusia dan segala aspeknya yaitu politik, ekonomi, hukum dan kebudayaan.
Memperhatikan manusia dengan segala aspeknya, tampaknya tidak mudah untuk membenahi sistem pendidikan di negara kita. Sejak dikeluarkannya UU No.22 tahun 1999 yang telah direvisi menjadi UU. No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak perubahan yang terjadi di Negara tercinta ini, termasuk pada bidang pendidikan. Sebelum dikeluarkannya UU tentang Pemerintahan Daerah, banyak kendala yang dihadapi untuk mencapai tujuan pendidikan yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945. Kendala-kendala yang dihadapi dalam peningkatan mutu bidang pendidikan berdasarkan laporan Bank Dunia (dalam Jalal dan Supriadi, 2001: 122-124) adalah pertama, kurangnya koordinasi antara institusi-institusi pemerintah, yaitu antara Depdiknas, Depdagri dan Depag. Kedua, adanya sistem yang sentralistik, terutama dari segi perencanaan program. Ketiga, beragamnya sumber pembiayaan yang tidak terkoordinasi antara Depkeu, Bappenas, Depdagri, dan Depag, sehingga sulitnya membuat pertanggungjawaban. Keempat, manajemen pada tingkat sekolah yang kurang efektif.
Sementara menurut Depdiknas (2002: 1-2), ada tiga faktor utama yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata. Pertama, kebijakan dan penyelenggara pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production fungtion atau input output analysis yang dilaksanakan secara tidak konsekuen. Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilaksanakan secara birokratik-sentralistik sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi (subordo). Hal ini menghilangkan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreativitas dan inisiatif sekolah. Ketiga, minimnya peran serta warga sekolah khususnya guru dan peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa.
Menyikapi kendala/faktor seperti itu, pemerintah telah berupaya dan sedang berusaha untuk memperbaiki sistem pendidikan kita yaitu dengan melancarkan sebuah reformasi pendidikan dalam konteks otonomi daerah. Bukti nyata dari perubahan yang dilakukan itu adalah munculnya Manajemen Berbasis Sekolah (Mulyasa, 2006: 11) dengan pola MPMBS (Depdiknas, 2002: 3) serta dikeluarkannya Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai hasil penyempurnaan Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang No. 20 tahun 2003, sarat dengan tuntutan yang cukup mendasar karena harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi menajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Salah satu upaya yang segera dilakukan untuk memenuhi tuntutan tersebut adalah pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan (Muslich, 2008: 1).
Lebih lanjut, Muslich (2008: 1), mengungkapkan bahwa upaya pembaharuan pendidikan, juga berkiblat pada visi dan misi pembangunan pendidikan nasional. Hal ini sejalan dengan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 41 tahun 2007, yang menyatakan bahwa ”Dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah”. Jadi pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan. Tilaar & Riant Nugroho (2008: 44) berpendapat bahwa pemberdayaan terjadi pada anak manusia, dari mahluk yang tak berdaya menjadi mahluk yang idependen serta kreatif sehingga bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain termasuk kepada Tuhannya.
Visi pendidikan nasional dapat dijabarkan melalui misi pendidikan nasional. Misi pendidikan nasional dalam jangka panjang adalah menuju masyarakat madani (Muslich, 2008: 3). Tilaar (2004: 7) mendefinisikan masyarakat madani sebagai masyarakat adil-makmur dengan supremasi hukum dan merupakan bentuk yang ideal dari suatu masyarakat demokratis. Terbentuknya masyarakat madani tidak terlepas dari kehidupan masyarakat dan budaya dari suatu bangsa.
Aktualisasi pendidikan nasional dengan misinya menuju masyarakat madani, menurut Tilaar (2004: 22) menuntut prinsip-prinsip dasar pendidikan, yaitu : 1) partisipasi masyarakat di dalam mengelola pendidikan, 2) demokratisasi proses pendidikan, 3) sumber daya pendidikan yang profesional, dan 4) sumber daya penunjang yang memadai.
Sesuai dengan tuntutan masyarakat demokrasi, maka masyarakat harus ikut serta secara aktif di dalam menyelenggarakan pendidikannya (Rosyada, D., 2004). Salah satu konsekuensi dari partisipasi masyarakat untuk menghidupkan masyarakat demokrasi menurut Tilaar (2004: 22) adalah Community Based Education (CBE) atau menurut Depdiknas (2007: 572) dalam istilah ”Dewan Pendidikan” dan ”komite sekolah”. Masyarakat diharapkan ikut membina pendidikannya. Sehingga dengan demikian, struktur manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan keikutsertaan secara aktif masyarakat di dalam pelaksanaannya. Masyarakat merasa ikut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikannya. Dengan demikian telah terjadi pergeseran paradigma pengambilan kebijakan pendidikan dari kebijakan pendidikan yang dilakukan secara sentralisasi telah berubah menjadi desentalisasi (Mulyasa, 2008: 1). Sejalan dengan hal itu, Muhajmin, dkk. (2008: 2), mengungkapkan bahwa otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan pada gilirannya akan bermuara pada perubahan sistem manajemen pendidikan dari pola sentralisasi ke desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan.
Pola sentralisasi tidak sepenuhnya jelek. Selama pemerintahan orde baru, pola ini terus diterapkan, dan banyak warga Negara Indonesia yang sukses dengan pola ini. Namun, di balik keberhasilan itu terkuak sebuah kelemahan. Karena pola perencanaan yang top-down seringkali kurang menyentuh kebutuhan masyarakat yang spesifik, yang pada gilirannya menurunkan gairah masyarakat (siswa, orang tua, tokoh masyarakat dan pihak swasta) dan aparat di daerah sendiri untuk berpartisipasi dalam penyuksesan pendidikan terutama dalam menyukseskan wajib belajar. Maka dengan adanya reformasi pendidikan segera digulirkan pola yang bersifat desentralisasi.
Desentralisasi dapat diartikan sebagai penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah sehingga wewenag dan tanggung jawab sepenuhnya menjadi tanggung jawab daerah, termasuk di dalamnya penentuan kebijakan perencanaan, pelaksanaan maupun menyangkut segi-segi pembiayaan dan aparatnya (Jalal dan Supriadi, 2001: 122-124).
Maksud dan tujuan dari desentralisasi, menurut Emil J. Sady (dalam Tjokroamidjojo dalam Jalal dan Supriadi (2001: 123-124), adalah; 1) mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil di tingkat lokal; 2) meningkatkan pengertian rakyat dan dukungan mereka dalam kegiatan usaha pembangunan sosial ekoomi; 3) menyusun program-program perbaikan ekonomi pada tingkat lokal agar lebih realistis; 4) melatih rakyat untuk dapat mengatur urusannya sendiri; 5) membina kesatuan nasional.
Dari tujuan itu, maka desentralisasi pendidikan bukanlah merupakan suatu yang mudah dilakukan. Meskipun demikian sejalan dengan arus demokratisasi di dalam kehidupan manusia, maka desentralisasi pendidikan akan memberikan efek terhadap pola pengelolaan sekolah, perencanaan kurikulum sampai pada implementasi kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan, dan pemerataan. Tilaar (2004: 87) mengungkapkan, meskipun pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa desentralisasi pendidikan tidak dengan sendirinya meningkatkan mutu pendidikan dalam arti peningkatan mutu belajar-mengajar, ada kemungkinan desentralisasi pendidikan justru dapat menimbulkan jurang pemisah yang semakin lebar antara si kaya dengan si miskin. Atau ada yang mengatakan desentralisasi hanya memindahkan borok-borok pendidikan dari pusat ke daerah.
Desentralisasi dan demokratisasi penyelenggaraan pendidikan memerlukan tenaga-tenaga yang terampil dan profesional baik dalam mengelola sekolah, keuangan, menyusun kurikulum maupun dalam implementasi kurikulum itu sendiri. Tentu untuk bisa menyatakan tenaga pendidik dan kependidikan itu sudah terampil dan profesional, harus ada standar tertentu yang menyatakan hal itu.
Standarisasi dan profesionalisme pendidikan yang sedang dilakukan dewasa ini menuntut pemahaman berbagai pihak terhadap perubahan yang terjadi dalam berbagai komponen pendidikan. Standarisasi dalam bidang pendidikan telah dimuat dalam UU. No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Implementasi Undang-Undang No. 20 tahun 2003 dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan, antara lain Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Ada delapan standar nasional pendidikan yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan, yaitu: standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.
Masing-masing standar nasional pendidikan dijabarkan dengan lebih lugas dalam bentuk Permendiknas, yaitu dikeluarkannya Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, Permendiknas No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Permendiknas No. 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan permendiknas no. 22 dan 23 dan Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses Pembelajaran.
Suatu hal yang sangat menarik pada Permendiknas No. 41 tahun 2007 adalah terjadinya pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Paradigma pengajaran dapat kita maknai bahwa guru menjadi pusat semua aktivitas belajar yang terjadi di kelas (teacher centered), sedangkan pembelajaran mengandung makna bahwa tidak hanya guru yang menjadi pusat belajar, namun siswa juga perlu mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensi dirinya dan aktif dalam kegiatan belajar (student centered). Pengelolaan proses pembelajaran menurut Permendiknas ini lebih menekankan ke konsep student centered.
Semua Permendiknas di atas, dikeluarkan untuk menunjang pelaksanann kurikulum baru yang sedang dijalankan pada bidang pendidikan di negara kita. Sejak KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) diberlakukan di Indonesia mulai tahun 2007, sekolah dapat menentukan dan mengembangkan kurikulumnya sendiri dengan memperhatikan prinsip pengembangan kurikulum. Setelah kurikulum dibuat oleh sekolah, maka tugas berikutnya dibebankan kepada guru untuk menyusun program pembelajaran berupa silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran dengan memperhatikan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar pada masing-masing jenis dan jenjang pendidikan, serta pementasan kurikulum melalui pembelajaran. Mulyasa (2008: 154) berpendapat bahwa RPP yang baik adalah RPP yang terpentaskan secara optimal oleh guru dalam pembelajaran, sehingga bagi guru wajib untuk mementaskan RPP yang dibuatnya, termasuk guru di SMP Negeri 3 Petang, Kabupaten Badung.
Dalam tujuh tahun perjalanannya, sudah barang tentu sekolah belum mempunyai kemampuan yang baik dalam hal pengelolaan sekolah, pengelolaan administrasi, pengelolaan dana, pengelolaan kegiatan kesiswaan, menjalin hubungan dengan masyarakat, pemberdayaan sumber daya manusia, dan pengembangan kurikulum, jika dibandingkan dengan sekolah yang lebih senior seperti SMP Negeri 1 dan 2 Petang. Apalagi jika dibandingkan dengan sekolah berstandar nasional seperti SMP Negeri 1 Abiansemal. Hal ini terjadi karena sekolah masih relatif muda (berdiri pada tahun 2002), pengalaman kepala sekolah dan staf secara umum relatif tidak banyak, sarana dan prasarana pembelajaran sangat kurang. Kepala sekolah di SMP Negeri 3 Petang merupakan Kepala Sekolah yang dimutasikan dari guru pada tahun 2003 dengan kualifikasi S1-Pendidikan Seni Rupa. Khusus untuk guru yang ada di sekolah ini pengalaman kerja yang dimiliki tergolong sedikit, rata-rata 5-6 tahun masa kerja i untuk menjadi seorang guru. Tentu dengan pengalaman yang sedikit belum mampu menciptakan suasana pembelajaran sesuai dengan standar nasional pendidikan apalagi belum memadainya sarana belajar termasuk media pembelajaran di sekolah. Di samping itu juga, dari semenjak tamat pendidikan guru, mereka rata-rata melakoni pekerjaan diluar bidang keguruan. Sehingga terjadi “kemandegan” ilmu pendidikan yang mereka miliki (data keadaan guru terlampir). Tetapi, kita tidak boleh menafsirkan begitu saja terhadap kemampuan kepala sekolah dan guru dalam mengemban dan menjalankan tugasnya dalam konteks desentralisasi pendidikan.
Seyogianya seorang kepala sekolah harus mampu untuk mengelola sekolah yang dipimpinnya dengan paradigma pengelolaan sekolah di masa sekarang dan yang akan datang yaitu dengan Managenen Berbasis Sekolah (MBS) melalui pola MPMBS. Demikian juga dengan para guru, harus mampu untuk menyelenggarakan proses pembelajaran agar sesuai dengan Standar Proses demi terwujudnya desentralisasi pendidikan.
Dari uraian di atas, penulis memandang perlu untuk melakukan pengamatan/observasi terhadap implementasi desentralisasi pendidikan ditinjau dari segi manajemen, pengelolaan keuangan dan pengelolaan pembelajaran yang terjadi di SMP Negeri 3 Petang, yang selanjutnya akan dianalisis sesuai dengan rujukan dan kemampuan penulis.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, dapat dirumusankan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah implementasi desentralisasi pendidikan di SMP Negeri 3 Petang Kabupaten Badung tahun pelajaran 2008/2009 ditinjau dari segi kebijakan?
2. Bagaimanakah implementasi desentralisasi pendidikan di SMP Negeri 3 Petang Kabupaten Badung tahun pelajaran 2008/2009 ditinjau dari pengelolaan dana?
3. Bagaimanakah implementasi desentralisasi pendidikan di SMP Negeri 3 Petang Kabupaten Badung tahun pelajaran 2008/2009 ditinjau dari segi pengelolaan pembelajaran?
1.3 Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan dari penulisan ini adalah :
- Untuk mengetahui implementasi desentralisasi pendidikan di SMP Negeri 3 Petang Kabupaten Badung tahun pelajaran 2008/2009 ditinjau dari segi kebijakan.
- Untuk mengetahui implementasi desentralisasi pendidikan di SMP Negeri 3 Petang Kabupaten Badung tahun pelajaran 2008/2009 ditinjau dari pengelolaan dana.
- Untuk mengetahui implementasi desentralisasi pendidikan di SMP Negeri 3 Petang Kabupaten Badung tahun pelajaran 2008/2009 ditinjau dari segi pengelolaan pembelajaran.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penulisan ini dapat dijadikan bahan acuan atau referensi untuk pengembangan kebijakan desentralisasi pendidikan di sekolah
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Penulis
Penulisan ini dapat memberikan wawasan bagi penulis tentang implementasi desentralisasi pendidikan yang berjalan selama ini.
b. Bagi Sekolah
Penulisan ini dapat dijadikan refleksi oleh Kepala Sekolah dan para guru dan staf di SMP Negeri 3 Petang dalam membuat program sekolah, pengelolaan keuangan termasuk dana BOS, membuat program pembelajaran dan mengimplementasikannya dengan memperhatikan teori-teori belajar yang ada serta kaidah kaidah dalam desentralisasi pendidikan.
c. Bagi Pemerintah
Penulisan ini, dapat dijadikan salah satu bahan pertimbangan dalam mengevaluasi dan menindaklanjuti pelaksanaan desentralisasi di tingkat satuan pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Implementasi Desentralisasi Pendidikan di SMP Negeri 3 Petang Kabupaten Badung Tahun Pelajaran 2008/2009 ditinjau dari Segi Kebijakan
Sejak bendera reformasi pendidikan dikibarkan, pemerintah sudah memikirkan berbagai uapaya untuk meningkatkan mutu pendidikan secara merata di setiap pelosok negeri ini. Salah satu upaya sebagai wujud reformasi dalam bidang pendidikan adalah diluncurkannya perubahan di bidang menajemen. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dipilih oleh pemerintah sebagai jalan alternatif untuk mengatasi keterpurukan mutu pendidikan dalam konteks desentralisasi pendidikan (Jalal dan Supriadi, 2001:160).
MBS pada prinsipnya bertumpu pada sekolah dan masyarakat. Potensi untuk memberdayakan masyarakat, pemerataan, efisiensi serta manajemen yang berpusat pada sekolah sangatlah besar, sehingga diharapkan kontrol pemerintah pusat menjadi semakin berkurang. Di lain pihak, MBS dapat meningkatkan otonomi sekolah untuk menentukan sendiri apa yang perlu diajarkan dan mengelola sumber daya yang ada untuk berinovasi.
Dalam MBS, kepala sekolah dan guru memiliki kebebasan yang luas dalam mengelola sekolah tanpa mengabaikan kebijakan dan prioritas pemerintah. Ada empat ruang lingkup yang menjadi kajian utama dalam fungsi pengelolaan sekolah. Menurut Jalal dan Supriadi (2001:161), keempat ruang lingkup yang dimaksud adalah: (1) manajemen/organisasi/kepemimpinan, (2) proses belajar-mengajar, (3) sumber daya manusia, dan (4) administrasi sekolah. Ruang lingkup MBS secara lebih rinci disajikan pada Tabel 01, sebagai berikut.
'
'
'
MBS hanya dapat dijalankan apabila ruang lingkup di atas dapat diimplementasikan. Dalam bidang manajemen, efektivitas pengelolaan suatu sekolah sangat ditentukan oleh kepala sekolah selaku leader (pemimpin), manager, educator, administrator, dan wirausahawan dalam manajemen sekolah (Depdiknas, 2006: 59). Salah satu peran Kepala Sekolah sebagai pimpinan adalah pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan tidak dapat dipisahkan dari kepemimpinan, termasuk dalam kepemimpinan dalam MBS (Nurkolis, 2003: 183).
Berdasarkan hasil observasi, wawancara dan kuisioner penulis tentang manajemen sekolah dengan Kepala SMP Negeri 3 Petang, yang dilaksanakan pada tanggal 22 Oktober 2008, diperoleh hasil yang secara lengkap disajikan pada Tabel 02, sebagai berikut.
Tabel 02.
Jawaban Kuisioner Kepala SMP N 3 Petang dalam Manajemen Sekolah
PERENCANAAN | YA | TIDAK |
1. Menerjemah kebijakan nasional pendidikan ke dalam tujuan dan sasaran pembelajaran (belajar-mengajar) atau membuat kurikulum sekolah | √ |
|
2. Menyusun Rencana Pengembangan Sekolah | √ |
|
3. Menyusun Program Kerja Sekolah | √ |
|
4. Menyusun RAPBS | √ |
|
5. Merencanakan perolehan sumber daya belajar-mengajar (termasuk dana) dalam jangka panjang | √ |
|
6. Menyusun Daftar Pembagian tugas bagi staf | √ |
|
7. Menyiapkan silabus, jadwal kerja, jadwal pembelajaran dan kegiatan | √ |
|
8. Menyiapkan jadwal rapat komite | √ |
|
| YA | TIDAK |
PENGORGANISASIAN |
|
|
1. Menyiapkan program / uraian kerja yang mutakir | √ |
|
|
|
|
bagi guru dan staf, tugas staf, dan peserta didik |
|
|
2. Menyiapkan pengangkatan staf/guru baru, seleksi dan penugasan staf dan peserta didik yang memegang jabatan tertentu di sekolah |
| √ |
3. Membuat pendelegasian tugas | √ |
|
PENGARAHAN |
|
|
1. Orientasi staf/guru dan peserta didik baru dan orang tua peserta didik | √ |
|
2. Berkomunikasi secara reguler dengan cara yang paling tepat, dengan semua pihak yang berkepentingan tentang program sekolah | √ |
|
3. Mengadakan diskusi formal dan informal dengan individu atau kelompok, termasuk guru dan peserta didik, serta semua pihak berkepentingan tentang semua aspek kehidupan sekolah | √ |
|
SUPERVISI |
|
|
1. Memastikan proses pembelajaran berjalan lancar, tugas-tugas peserta didik diperiksa | √ |
|
2. Memeriksa pembagian kerja dan rencana pelaksanaan pembelajaran guru | √ |
|
3. Memastikan kehadiran dan ketepatan waktu staf dan guru | √ |
|
4. Melakukan penilaian kerja staf dan guru secara lengkap dan adil | √ |
|
5. Memeriksa perlengkapan untuk kelancaran pembelajaran dan penyelenggaraan sekolah | √ |
|
EVALUASI |
|
|
1. Menyiapkan laporan tahunan sekolah | √ |
|
2. Menganalisis hasil ujian | √ |
|
3. Meninjau kinerja sekolah dalam semua kegiatan di dalam dan di luar kelas | √ |
|
4. Menyusun target baru individu, bagian, dan sekolah |
| √ |
5. Menyampaikan laporan dan keadaan keuangan kepada komite sekolah | √ |
|
Nara Sumber : I Nyoman Ninik Narka
Dari Tabel 02 di atas, kepala sekolah selaku leader dan manager mengelompokkan segala aktivitas manajemen ke dalam lima kategori. Inilah yang menjadi kebijakan di SMP Negeri 3 Petang. Dalam hal perencanaan, kebijakan yang diambil adalah: pertama, menerjemah kebijakan nasional pendidikan ke dalam tujuan dan sasaran pembelajaran (belajar-mengajar) atau membuat kurikulum sekolah. Penyusunan kurikulum di SMP Negeri 3 Petang melalui sebuah pengkajian dengan melibatkan TIM pengembang kurikulum (daftar Tim Pengembang Kurikulum terlampir). Selanjutnya, implementasi kurikulum sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing guru. Penyerahan kewenangan sepenuhnya kepada guru dalam pembelajaran baik dalam pengelolaan siswa, pengelolaan kelas dan pemanfaatan media yang terkait dengan perencanaan pembelajaran merupakan suatu kebijakan yang sangat relevan dalam kontek desentralisasi pendidikan.
Kedua, dalam hal pengembangan sekolah. Sekolah menetapkan kebijakan berupa penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS) yang tentunya disusun oleh Kepala Sekolah yang bekerja sama dengan pengelola sekolah serta dengan berkoordinasi dengan kolega horizontalnya berupa komite sekolah. Penyusunan RPS dilaksanakan pada awal tahun ajaran untuk kurun waktu menengah (3-6 tahun). RPS merupakan rencana yang komprehensif untuk mengoptimalkan pemanfaatan segala sumber daya yang ada dan yang mungkin diperoleh guna mencapai tujuan yang diinginkan di masa yang akan datang.
Ketiga, penetapan program kerja sekolah disusun setiap tahun dan merupakan langkah untuk mencapai tujuan jangka pendek. Mekanisme penyusunan program sekolah sama dengan penyusunan RPS. Apabila program kerja sekolah yang merupakan penurunan dari RPS sudah selesai disusun, maka langkah berikutnya adalah penyusunan RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah). Mekanisme penyusunannya adalah kepala sekolah berkerja sama dengan berdahara. Apabila sudah selesai disusun, maka diadakan koordinasi dengan komite sekolah. Segala sesuatu yang dicantumkan dalam RAPBS baik dalam bentuk kegiatan, program pengadaan sarana dan perawatannya maupun biaya-biaya operasional yang lain merupakan pengejewantahan dari program kerja sekolah yang tentunya sudah berdasarkan hasil analisis kebutuhan dengan skala prioritas. Di sinilah tampak desentralisasi dalam pengambilan kebijakan dalam kontek desentralisasi lewat otonomi sekolah terlihat jelas. Untuk bisa menjadi APBS, RAPBS yang telah disusun, dibawa dan disosialisasikan melalui rapat dewan guru dan staf dengan tetap menghadirkan komite sekolah. Setelah diterima lewat jalan rapat, maka RAPBS menjadi APBS yang dibuktikan dengan tanda tangan komite sekolah diketahui oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten.
Keempat, dalam hal pengoptimalan sumber daya manusia yang ada. Kepala Sekolah mengambil suatu langkah tepat untuk membagi habis semua pekerjaan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Kepala Sekolah Tentang Pembagian Tugas Guru dan Pegawai berdasarkan hasil rapat yang dilakukan sebelumnnya. Dengan demikian, kewenangan dalam pengelolaan sumber daya manusia yang ada bisa dioptimalkan. Akan tetapi, dalam hal penyiapan tenaga kependidikan/staf/guru, dari kuisioner yang disebarkan kepada Kepala Sekolah, nampaknya tidak sesuai dengan pola MBS. Dalam kuisioner, nampak bahwa kepala sekolah tidak menyiapkan pengangkatan staf/guru baru, seleksi dan penugasan staf dan peserta didik yang memegang jabatan tertentu di sekolah. Kenyataannya, dari hasil observasi sekolah mengangkat guru/staf honor komite sebanyak 7 (tujuh) orang yang terdiri dari 1 orang petugas tata usaha, 4 orang guru, 1 orang pembina ekstra, dan 1 orang penjaga malam.
Kelima, dalam menyiapkan silabus, jadwal kerja, jadwal pembelajaran dan kegiatan. Sekolah dalam hal ini sangat kaitannya dengan pengelolaan kurikulum. Kepala sekolah melalui Ka.Ur (Kepala Urusan) Kurikulum, merancang jadwal kerja guru untuk memberikan pembelajaran. Menurut I Made Wijaya selaku Ka.Ur kurikulum, jadwal mengajar guru disusun berdasarkan skala prioritas artinya, guru yang berasal dari jauh diberikan kesempatan untuk memilih hari. Ini salah satu sisi lain penerapan MBS dalam bidang kurikulum. Dalam hal pengelolaan sarana dan media pembelajaran, para guru bisa memanfaatkan media pembelajaran sesuai dengan kaedah dengan konsekuensi pemeliharaan menjadi tanggung jawab bersama.
Keenam, dalam pengelolaan kegiatan kesiswaan. Di samping memberikan jadwal pelajaran, siswa juga diberikan kegiatan pengembangan diri melalui ekstrakurikuler yang jadwalkan setiap hari Sabtu. Melalui kegiatan ini, diharapkan siswa dapat menyalurkan hobinya masing-masing. Ekstra kurikuler yang ada antara lain. Ekstra Pramuka, Atletik, PMR, pingpong, geguntangan, pancak silak, Bola volly, KIR, pidato bahasa inggris, menganyam, tari, dan ekstra Pesantian.
Dalam pelaksanaan program, sekolah berusaha untuk memenuhi kebutuhan program dengan selalu mengacu kepada anggaran yang sudah ditetapkan. Apabila anggaran tidak mencukupi, maka diadakan koordinasi dengan komite sekolah untuk mencari solusi pemecahan masalah. Sebagai salah satu contoh: pembangunan tembok ”penyengker” disekolah. Melalui komite sekolah (yang didahului dengan rapat), pengajuan proposal permohonan bantuan sudah dilakukan. Ini adalah salah satu bentuk keterlibatan masyarakat melalui komite dalam dunia pendidikan.
Sebagai supervisor, kepala sekolah mengadakan supervisi kepada guru dan pegawai sesuai pada Tabel 02 di atas. Bentuk supervisi yang paling efektif terjadi jika staf, peserta didik dan orang tua memandang bahwa kepala sekolah sebagai orang yang tahu persis tentang hal-hal yang terjadi di sekolahnya (Depdiknas, 2007: 216). Kegiatan supervisi dilakukan kontinu, dalam rangka untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidikan dalam profesionalismenya sebagai guru sehingga tercipta iklim yang kondusif dan lebih baik dalam kegiatan belajar-mengajar
Pada bagian terakhir dari Tabel 02. di atas, nampak bahwa sekolah juga melakukan pelaporan tentang segala kegiatan yang dilakukan. Kegiatan yang menggunakan dana dilaporkan sesuai dengan petunjuk pelaporan. Setelah laporan selesai, maka laporan tersebut disetorkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk kepada komite melalui suatu rapat pertanggungjawaban. Dari kegiatan ini nampak bahwa, sekolah sudah menempatkan komite sebagai kelogia yang mampu untuk memberikan sumbang sihnya kepada sekolah demi kemajuan mutu pendidikan di daerah mereka.
Dari segi pengambilan keputusan, berdasarkan pada hasil penyebaran kuisioner dengan Kepala Sekolah, diperoleh informasi seperti pada Tabel 03 di bawah ini.
Tabel 03
Jawaban Kepala Sekolah dalam Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan
Pemecahan Masalah | YA | TIDAK |
1. Mengetahui adanya masalah | √ |
|
2. Menganalisis masalah | √ |
|
3. Mengidentifikasi alternatif solusi | √ |
|
4. Memilih alternatif terbaik | √ |
|
5. Melaksanakan solusi yang dipilih | √ |
|
6. Mengevaluasi efektivitasnya |
| √ |
Pengambilan Keputusan |
|
|
1. Melalui rapat (Jika ’ya’ : a. Selalu, b. Kadang-kadang) | b |
|
2. Melibatkan Komite (Jika ’ya’ : a. Selalu, b. Kadang-kadang) | b |
|
3. Keputusan bersifat efektif | √ |
|
4. Keputusan yang diambil dapat dijelaskan, diterima oleh pelaksana | √ |
|
5. Keputusan ditinjau kembali sesuai dengan situasi dan kondisi | √ |
|
Nara Sumber : I Nyoman Ninik Narka
Pengambilan keputusan dalam sebuah manajemen haruslah rasional. Melalui proses pengambilan keputusan yang rasional maka individu membuat pilihan memaksimalkan nilai yang konsisten dalam batas-batas tertentu. Langkah-langkah pengambilan keputusan yang rasional menurut Nurkolis (2003: 186), adalah (1) menetapkan masalah, (2) mengidentifikasi kriteria keputusan, (3) mengalkasikan bobot pada kriteria, (4) mengembangkan alternatif, (5) mengevaluasi alternatif, dan (6) memilih alternatif terbaik.
Dalam konteks MBS menurut Nurkolis (2003: 187), terdapat empat langkah dalam pengambilan keputusan, yaitu pertama, mula-mula sekolah membentuk Dewan Sekolah yang terdiri dari kepala sekolah, perwakilan guru, orang tua siswa, anggota masyarakat, staf sekolah dan siswa. Kedua, Dewan Sekolah melakukan pengukuran kebutuhan (need assesment). Ketiga, merencanakan tindakan yang mencakup tujuan dan sasaran yang terukur. Keempat, mengambil keputusan, baik oleh kepala sekolah secara mandiri maupun berkolaborasi dengan dewan sekolah.
Apa yang disajikan pada Tabel 03 di atas, nampaknya sangat sesuai dengan apa yang menjadi langkah-langkah dalam pengambilan sebuah keputusan dan pemecahan masalah seperti yang dijelaskan di atas. Namun ada yang berbeda sedikit dari apa yang diharapkan oleh MBS. Sekolah dalam hal ini pimpinan sekolah, dalam pengambilan keputusan tidak maksimal melibatkan komite. Alasan dari pimpinan sekolah adalah ” kalau masih bisa diputuskan sendiri dan layak untuk dipakai kita tidak perlu melibatkan komite secara penuh pada setiap keputusan yang kita buat”. Menyimak dari apa yang disampaikan pimpinan sekolah tadi, nampaknya sesuai dengan poit keempat dalam langkah pengambilan keputusan dalam MBS yaitu, dalam pengambilan keputusan kepala sekolah bisa secara mandiri artinya tidak melibatkan komite dan pihak lain. Sebagai contoh dalam pembentukkan panitia suatu kegiatan intern di sekolah, Kepala Sekolah mengeluarkan sebuah Surat Keputusan tanpa melibatkan komite sekolah.
Dari pemaparan pola manajemen dan pengambilan keputusan yang diterapkan di SMP Negeri 3 Petang, nampaknya desentralisasi pendidikan ditinjau dari segi kebijakan dalam manajemen, sudah menerapkan pola MBS sesuai dengan harapan dari desentralisasi pendidikan.
2.2 Implementasi Desentralisasi Pendidikan di SMP Negeri 3 Petang Kabupaten Badung Tahun Pelajaran 2008/2009 ditinjau dari Segi Pengelolaan Dana
Dari segi pengelolaan dana, SMP Negeri 3 Petang membuat suatu perencanaan pengelolaan keuangan dalam bentuk RAPBS yang selanjutnya menjadi APBS. Pengelolaan keuangan sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling tau dan paling memahami tentang segala kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan kepada sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mendatangkan ”penghasilan” sebagai tambahan sumber keuangan, sehingga tidak semata-mata hanya bersumber dari pemerintah.
Melalui penyebaran kuisioner, dengan bendahara di SMP Negeri 3 Petang, diperoleh informasi yang disajikan secara lengkap seperti pada Tabel 04 di bawah ini.
Tabel 04.
Jawaban Kuisioner Bendahara BOS SMP Negeri 3 Petang dalam Pengelolaan dana
Sumber Dana | YA | TIDAK |
3. BOS (Bantuan Operasional Sekolah) | √ |
|
2. Pemerintah Daerah (Pemda) | √ |
|
3. Komite | √ |
|
4. Pengusaha |
| √ |
5. Lain-lain (sewa kantin, komisi,dll) | √ |
|
PERENCANAAN |
|
|
2. Menyusun anggaran penggunaan dana | √ |
|
3. Memperhatikan aspek prioritas dalam pengalokasian anggaran dana | √ |
|
4. Melibatkan komite, staf dan guru dalam penyusunan anggaran | √ |
|
PENGORGANISASIAN |
|
|
1. Menyiapkan buku umum, buku kas tunai, buku pembantu pajak | √ |
|
2. Penarikan dana dilakukan setiap saat sesuai dengan keperluan sekolah | √ |
|
3. Membayar pajak tepat waktu | √ | √ |
PENGARAHAN |
|
|
1. Menulis informasi keuangan di papan informasi | √ |
|
2. Berkomunikasi secara reguler dengan cara yang paling tepat, dengan semua pihak yang berkepentingan tentang dana BOS | √ |
|
SUPERVISI |
|
|
1. Memastikan pengeluaran dana BOS sesuai dengan program anggaran | √ |
|
2. Memeriksa buku kas | √ |
|
EVALUASI |
|
|
1. Menyiapkan laporan tahunan | √ |
|
2. Meninjau efektivitas penggunaan dana | √ |
|
3. Menyusun anggaran baru individu, bagian, dan sekolah | √ |
|
4. Menyampaikan laporan keadaan keuangan kepada komite sekolah dan atasan | √ |
|
Nara Number : I Wayan Suarka
Dari tabel 03 di atas nampak bahwa sumber dana yang ada di SMP Negeri 3 Petang tidak hanya bersumber dari bantuan pemerintah yang berupa dana BOS, akan tetapi sekolah berupaya menambah ”penghasilan” sekolah lewat jalan bekerja sama dengan pihak-pihak lain seperti dengan masyarakat melalui dana partisipasi di awal tahun pelajaran dan sewa kantin sekolah. Setelah dana diperoleh, maka dibuatkanlah rencana pengelolaan dana dari sumbernya dalam bentuk RAPBS dengan memperhatikan langkah-langkah penyusunan anggaran seperti, (1) memperhatikan RPS dan Program Kerja Sekolah, (2) menyusun rencana anggaran berdasarkan skala prioritas, (3) menentukan rincian kerja dan rincian program, (4) menetapkan kebutuhan dana untuk pelaksanaan program, dan (5) menentukan sumber dana.
Sumber dana utama di sekolah ini berupa dana BOS. Besarnya dana yang diperoleh, menurut I Wayan Suarka,S.Pd sejumlah Rp. 27.700/siswa/bulan. Jumlah siswa seluruhnya 175 orang, sehingga bisa dihitung berapa jumlah dana yang masuk ke SMP Negeri 3 Petang. Dana ini sebagaian besar digunakan untuk kegaitan yang berhubungan langsung dengan siswa, seperti ulangan umum, pemantapan, ujian nasional, lomba-lomba, pembayaran honorarium guru dan tenaga kependidikan honor sekolah. Pengalokasian dana untuk masing-masing kegiatan, bersandar pada aspek prioritas dan analisis kebutuhan. Selanjutnya pengalokasian dana secara lengkap dapat dilihat pada lampiran RAPBS pada laporan ini. Penarikan dana dilakukan sewaktu-waktu bilamana diperlukan oleh sekolah. Jadi tidak sekaligus ditarik dari bank. Demikian pula dengan dana partisipasi masyarakat di awal tahun pelajaran, dimanfaatkan untuk biaya operasional khusus untuk mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi Komunikasi) terutama bagi perawatan komputer. Dana ini disimpan dalam bentuk tabungan oleh komite sekolah. Buku tabungan dipegang oleh bendahara komite.
Lebih lanjut dikatakan bahwa dana-dana yang sudah dipergunakan harus dibuatkan suatu bentuk pertanggungjawaban tertulis. Untuk itu diperlukan buku kas umum, buku kas tunai, buku bantu pajak yang harus diisi setiap kali ada transaksi keuangan. Buku-buku ini diperiksa oleh Kepala Sekolah sebagai bukti pertanggunjawaban bendahara kepada Kepala Sekolah, serta untuk memastikan perjalanan dana apakah sudah sesuai dengan program yang dicanangkan. Laporan keuangan ini dilaporkan setiap triwulan. Demi transparansi akuntabilitas, di ruang pegawai ada papan informasi penggunaan dana yang diisi oleh bendahara setiap ada transaksi keuangan.
Dari pemaparan bendahara SMP Negeri 3 Petang, dapat disimpulkan bahwa di sekolah ini menerapkan pola pengelolaan dana berdasarkan pada skala prioritas kebutuhan pelaksanaan program kegiatan. Di sinilah letak desentralisasi pendidikan dalam bidang pengelolaan dana. Sedangkan untuk akuntabilitas, laporan penggunaan dana dilaporkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan langsung dengan dana ini seperti pihak Pemerintah Daerah melalui Bawasda, Dinas Pendidikan Kabupaten Badung, dan termasuk kepada komite sekolah. Khusus untuk komite sekolah sebagai perwakilan masyarakat Desa Belok-Sidan, pertanggungjawaban keuangan dilaporkan melalui rapat pertanggungjawaban akhir tahun.
Implementasi Desentralisasi Pendidikan di SMP Negeri 3 Petang Kabupaten Badung Tahun Pelajaran 2008/2009 ditinjau dari Segi Pengelolaan Pembelajaran
Sekolah yang menerapkan pola MBS memiliki efektivitas belajar mengajar yang tinggi. Ini ditunjukkan oleh sifat pembelajaran yang menekankan pada pemberdayaan siswa. Menurut Depdiknas (2002: 14), pembelajaran bukanlah sekedar memorisasi dan recall, bukan hanya penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan, akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan dapat berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati serta diamalkan/dipraktekkan dalam kehidupan nyata siswa sehari-hari.
UNESCO menekankan efektivitas pembelajaran pada empat pilar pendidikan yaitu belajar untuk tahu akan sesuatu (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learning to be), belajar untuk hidup bersama (learning to live together).
Efektivitas pembelajaran dapat dilihat dari program pembelajaran dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan implementasi program. Program / RPP yang baik adalah program yang dapat diimplementasikan oleh guru melalui pembelajaran di kelas ( Mulyasa, 2008: 154).
Berdasarkan hasil penyebaran kuisioner, wawancara dan observasi pada salah satu guru di SMP Negeri 3 Petang yang mengajar IPA diperoleh informasi yang disajikan secara lengkap pada Tabel 05 dibawah ini.
Tabel 05
Jawaban Kuisioner Guru dalam Pengelolaan Pembelajaran
| YA | TIDAK |
Perencanaan |
|
|
1. Membuat program tahunan | √ |
|
2. Membuat program semester | √ |
|
3. Membuat silabus | √ |
|
4. Membuat RPP | √ |
|
a. Mengambil satu unit pembelajaran dari silabus | √ |
|
b. Menuliskan standar kompetensi dan kompetensi dasar | √ |
|
c. Menentukan indikator | √ |
|
d. Menentukan alokasi waktu | √ |
|
e. Merumuskan tujuan pembelajaran | √ |
|
| YA | TIDAK |
f. Menentukan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran | √ |
|
g. Menentukan metode pembelajaran | √ |
|
h. Menyusun langkah-langkah pembelajaran | √ |
|
i. Menentukan sumber/media belajar | √ |
|
k. Menentukan teknik penilaian | √ |
|
Pelaksanaan Pembelajaran |
|
|
1. Pembukaan |
|
|
a. Menghubungkan kompetensi yng telah dimiliki siswa dengan materi yang akan disajikan | √ |
|
b. Menyampaikan tujuan yang akan dicapai | √ |
|
c. Menyampaikan langkah-langkah pembelajaran | √ |
|
d. Mendayagunakan media dan sumber belajar yang bervariasi sesuai dengan materi | √ |
|
e. Mengajukan pertanyaan, baik baik untuk mengetahui pemahaman peserta didik terhadap pembelajaran yang lalu maupun untuk menjajagi kemapuan awal berkaitan dengan bahan yang akan dipelajari | √ |
|
f. Pembinaan keakraban |
| √ |
g. Pretest |
| √ |
2. Kegiatan Inti |
|
|
a. Guru menjelaskan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dituangkan dalam RPP | √ |
|
b. Guru menjelaskan materi standar secara logis dan sistematis, materi pokok disajikan dengan jelas atau ditulis di papan tulis. | √ |
|
c. Guru menjelaskan seluruh materi secara logis dan sistematis, materi pokok disajikan dengan jelas atau ditulis di papan tulis. | √ |
|
d. Guru memberikan kesempatan bertanya kepada peserta didik terhadap materi standar sampai materi tersebut benar-benar dikuasai | √ |
|
e. Guru tidak memberikan kesempatan bertanya kepada peserta didik terhadap materi standar yang belum dikuasai |
| √ |
f. Guru membagikan fotokopi materi standar atau sumber belajar (hand out) |
| √ |
g. Guru membagikan lembar kegiatan untuk setiap peserta didik |
| √ |
h. Siswa mengerjakan lembar kegiatan yang dibagikan guru secara kelompok atau mandiri |
| √ |
i. Guru memantau dan memeriksa kegiatan peserta didik dalam mengerjakan lembar kegiatan, sekaligus membantu dan mengarahkan mereka yang mengalami kesulitan |
| √ |
j. Guru meminta peserta didik untuk mempresentasikan hasil kegiatannya | √ |
|
| YA | TIDAK |
k. Guru mengklarifikasi jawaban peserta didik yang keliru sambil menjelaskan jawaban | √ |
|
l. Guru melibatkan peserta didik secara optimal | √ |
|
m. Guru tidak melibatkan peserta didik secara optimal |
| √ |
n. Guru mendominasi kegiatan pembelajaran |
| √ |
o. Siswa dan guru terlibat aktif dalam pembelajaran | √ |
|
p. Guru menentukan segalanya dalam pembembelajaran (teacher centered), siswa hanya sebagai objek belajar |
| √ |
q. Guru bukanlah segala-galanya dalam pembelajaran (student centered), siswa sebagai subjek belajar | √ |
|
3. Penutup |
|
|
a. Guru membuat kesimpulan sendiri mengenai materi yang telah dipelajari |
| √ |
b. Kesimpulan bisa dibuat oleh oleh guru atau oleh peserta didik atas permintaan guru. | √ |
|
c. Guru dan peserta didik secara bersama-sama membuat kesimpulan mengenai materi yang telah dipelajari | √ |
|
d. Guru mengajukan beberapa buah pertanyaan untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan dan keefektifan pembelajaran yang telah dilaksanakan | √ |
|
e. Guru menyampaikan bahan-bahan pendalaman yang harus dipelajari dan tugas-tugas yang harus dikerjakan (baik secara berkelompok maupun individu) sesuai dengan pokok bahasan yang telah dipelajari | √ |
|
f. Guru memberikan postes baik secara lisan, tulisan maupun perbuatan |
| √ |
Evaluasi Pembelajaran |
|
|
1. Evaluasi dilakukan terhadap program pembelajaran | √ |
|
2. Evaluasi dilakukan terhadap peran aktif siswa dalam pembelajaran | √ |
|
3. Guru menentukan sendiri jenis evaluasi yang akan digunakan dalam mengevaluasi pembelajaran | √ |
|
4. Evaluasi bukan saja menjadi tanggung jawab guru tetapi juga menjadi tanggung jawab siswa | √ |
|
5. Evaluasi merupakan bagian integral dalam pembelajaran | √ |
|
6. Evaluasi dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan | √ |
|
7. Evaluasi dilakukan terhadap tingkat kognitif, perkembangan proses mental dan evaluasi | √ |
|
| YA | TIDAK |
terhadap produk dan karya siswa |
|
|
8. Evaluasi dilakukan dengan perencanaan, pengumpulan data, verifikasi data, analisis data, dan interpretasi data | √ |
|
9. Hasil evaluasi dijadikan acuan dalam menentukan prestasi peserta didik | √ |
|
10. Tindak lanjut dari evaluasi adalah remidial | √ |
|
11. Tindak lanjut dari evaluasi adalah pengayaan | √ |
|
|
|
|
Nara Sumber : Perwakilan Guru SMP Nergeri 3 Petang
Dari Tabel 05 di atas, nampaknya guru di SMP Negeri3 Petang sudah berusaha untuk menyiapkan perangkat perencanaan pembelajaran dalam hal ini adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) supaya sesuai dengan harapan KTSP. Untuk mengetahui sejauh mana program yang telah dibuat oleh guru, khususnya guru IPA di SMP Negeri 3 Petang di buat dan di implementasikan dengan memperhatikan teori-teori belajar melalui sebuah observasi. Hasil observasi dan analisis terhadap program dan implementasi program pembelajaran disajikan pada pemaparan seperti di bawah ini.
2.3.1 Ringkasan Isi Program
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ini dilaksanakan di kelas VII semester ganjil tahun pelajaran 2008/2009 pada mata pelajaran IPA (bukti fisik terlampir). Pada bagian bawah identitas dituliskan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator dan alokasi waktu. Standar kompetensi yang dicantumkan adalah memahami klasifikasi zat. Kompetensi dasarnya yaitu melakukan percobaan sederhana dengan bahan-bahan yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Selama 2 jam pelajaran (2 x 40 menit) ditentukan indikator berupa melakukan percobaan untuk mengetahui sifat asam, basa di laboratorium dan alam, misalnya dengan menggunakan bunga kembang sepatu.
Di bawah indentitas, ada sejumlah komponen RPP yang dicantumkan diantaranya tujuan pembelajaran yang meliputi : melakukan percobaan dengan menggunakan bunga kembang sepatu untuk mengetahui sifat asam, basa pada berbagai bahan makanan, mengelompokkan bahan makanan yang bersifat asam dan basa menyimpulkan dan mempresentasikan hasil percobaan. Materi Pembelajaran meliputi : Sifat asam, basa pada bahan makanan. Metode Pembelajaran terdiri dari model dan metode. Model pembelajaran yang digunakan model CL (Cooperative Learning) sedangkan metode pembelajaran meliputi : eksperimen, demonstrasi, diskusi, dan tanya jawab.
Langkah-langkah kegiatan pembelajaran yang dirancang, dibagi menjadi tiga tahap yaitu: pertama, tahap pendahuluan. Pada tahap ini guru menyampaikan apersepsi/motivasi, dengan mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa ” Pernahkah kamu meremas-remas bunga kembang sepatu berwarna kemudian ditetesi dengan asam cuka? Apa yang terjadi?”, menyampaikan prasyarat pengetahuan ” Utamakan keselamatan kerja, hati-hatilah menggunakan larutan asam sulfat, tidak boleh dicium/disentuh langsung”. Kemudian dilakukan kegiatan pra-eksperimen yaitu guru memperkenalkan alat dan bahan percobaan.
Kedua, tahap kegiatan inti. Pada tahap ini guru membimbing siswa peserta didik dalam pembentukkan kelompok. Setelah itu, guru menginstruksikan kepada peserta didik untuk melakukan eksperimen kelompok. Selama kegiatan eksperimen berlangsung, guru memberikan bimbingan kepada kelompok yang kurang paham tentang mekanisme kerja /prosedur kerja yang ada pada LKS, sementara bagi kelompok yang sudah paham dengan mekanisme kerja, tetap bekerja dalam kelompoknya dan mendiskusikan hasil kerja kelompok. Setelah selesai melakukan eksperimen dan diskusi kelompok, guru selanjutnya meminta kepada salah satu perwakilan dari masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil percobaan mereka di papan tulis.
Ketiga, tahap kegiatan penutup. Pada tahap ini guru dan peserta didik berdiskusi untuk membuat simpulan/rangkuman. Pada bagian akhir kegiatan ini, guru memberikan tugas kepada peserta didik untuk mencari bahan-bahan makanan yang bersifat asam dan basa di rumah.
Sumber belajar yang dicantumkan berupa buku siswa, LKS, alam sekitar dan bahan makanan. Penilaian hasil belajar yang dicantumkan berupa teknik penilaian dalam bentuk tes unjuk kerja dengan bentuk instrumen tes uji petik kerja prosedur. Contoh instrumennya yaitu “ Lakukan uji asam, basa pada bahan makanan dengan menggunakan bunga kembang sepatu”.
No | Aspek | Skor |
1 | Kesiapan perlengkapan bahan percobaan | 2 |
2 | Melakukan kegiatan dengan benar | 2 |
3 | Memperoleh data dari kegiatan | 2 |
4 | Membuat kesimpulan dari hasil percobaan | 2 |
| Jumlah | 8 |
2.3.2 Ringkasan Praktik Pembelajaran
Pembelajaran ini dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 7 Oktober 2008 pada jam ke 4-5 yaitu dari pukul 09.40-11.00 Wita. Sebelum pembelajaran dimulai, siswa yang dikomandokan oleh ketua kelas memberikan salam kepada guru, dan guru membalasnya. Setelah itu, guru menanyakan siswa yang tidak hadir. Kemudian guru ingin mengetahui pemahaman siswa tentang materi klasifikasi zat yang sudah dijelaskan pada pertemuan yang sudah lewat. Guru bertanya kepada peserta didik “ Pernahkah kamu meremas-remas bunga kembang sepatu berwarna kemudian ditetesi dengan asam cuka? Apa yang terjadi?”. Semua siswa diam.
Kegiatan selanjutnya, guru membimbing siswa untuk membentuk kelompok. Setelah terbentuk kelompok, masing-masing dua orang dari kelompok diminta oleh guru untuk menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan dalam eksperimen. Selanjutnya, guru menyuruh peserta didik untuk melihat LKS yang sudah di bawa peserta didik. Guru menjelaskan mekanisme kerja yang ada. Setelah selesai, guru menginstruksikan kepada peserta didik untuk melakukan eksperimen secara berkelompok. Peserta didik dalam kelompok dengan antusias melakukan eksperimen dengan menggunakan alat dan bahan yang telah disediakan.
Selama eksperimen berlangsung, guru mengawasi jalannya eksperimen dan memberikan bimbingan bagi kelompok yang belum memahami petunjuk kerja. Dalam proses membimbing itu, guru juga sesekali mendemonstrasikan cara kerja terutama cara mengambil larutan dari dalam gelas kimia untuk diteteskan ke tabung reaksi supaya lebih mudah dipahami oleh peserta didik. Selanjutnya siswa yang telah mampu mengikuti contoh tadi, mendapat pujian dari guru sedangkan yang mengganggu jalannya eksperimen ditegur/diperingati oleh guru. Sementara bagi kelompok yang sudah paham tetap melakukan kegiatan eksperimen. Setelah eksperimen, setiap kelompok melakukan diskusi kelompok tentang hasil eksperimen mereka. Sambil mengawasi jalannya diskusi, guru membuat tabel hasil pengamatan di papan. Setelah berdiskusi, selanjutnya guru meminta kepada setiap kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok ke papan tulis. Setiap perwakilan kelompok maju dan menuliskan hasil diskusi mereka.
Dari apa yang telah dipresentasikan oleh masing-masing kelompok, guru mengajak peserta didik untuk melakukan diskusi secara klasikal. Guru menuntun jalannya diskusi, sehingga peserta didik dapat lebih mudah mengikutinya. Guru juga memberikan klarifikasi terhadap pendapat siswa yang kurang tepat dan penguatan pada jawaban siswa yang sudah tepat. Setelah diskusi, guru menuntun peserta didik untuk membuat kesimpulan. Selanjutnya guru menanyakan kepada peserta didik, ”kesimpulan apa yang bisa kita buat dari hasil eksperimen tadi?”. Tampaknya siswa tidak ada yang berani untuk mengungkapkan simpulannya. Kesempatan kembali diberikan kepada peserta didik dengan memberikan sedikit motivasi dan iming-iming ”hadiah” bonus nilai. Karena masih saja tidak ada siswa yang berani mengemukakan pendapatnya, maka guru menyimpulkan sendiri hasil eksperimen yang dilakukan tadi. Setelah membuat simpulan, selanjutnya guru memberikan tugas kepada peserta didik untuk dikerjakan di rumah (PR). Sebelum menutup pelajaran, guru mengajak siswa untuk membersihkan tempat dan alat-alat yang digunakan tadi. Setelah semua alat dikembalikan ke tempatnya, selanjutnya guru menutup kegiatan pembelajaran.
2.3.3 Penerapan Teori Belajar dalam Program
Perencanaan merupakan bagian penting yang harus diperhatikan dalam implementasi KTSP, yang akan menentukan kualitas pembelajaran secara keseluruhan. Untuk bisa membuat perencanaan, dalam hal ini adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), guru harus memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang teori belajar.
Pada Rencana Pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang penulis amati, teori belajar yang diterapkan adalah teori belajar perilaku (behavioral learning theory), teori belajar kognitif (cognitive learnig theory) dan teori belajar sosial (social cognitive learning theory).
Teori belajar perilaku lebih menekankan pada perilaku tampak (Dahar, 1989: 38). Suyanto (2005: 79), menegaskan bahwa teori belajar perilaku memandang belajar sebagai perubahan perilaku yang dapat diamati dan diukur. Perubahan perilaku yang dapat diamati dan dapat diukur pada RPP ini tampak dari penulisan tujuan pembelajaran. Pada tujuan pembelajaran seyogianya memperlihatkan sejumlah perilaku tertentu peserta didik dari hasil pembelajaran (Hamalik, 2008: 77; Sanjaya, 2008: 110).
Penerapan teori belajar kognitif tampak pada kegiatan pendahuluan. Pada kegiatan pendahuluan ini, guru menuliskan apersepsi /motivasi dan prasyarat pengetahuan yang dimiliki oleh peserta didik. Dengan adanya pertanyaan “ Pernahkah kamu meremas-remas bunga kembang sepatu berwarna kemudian ditetesi dengan asam cuka? Apa yang terjadi?”, maka dalam benak siswa akan timbul pemikiran baru, yang akan dikaitkan dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya tentang ciri-ciri zat asam dan basa. Hal ini sesuai dengan teori belajar bermakna dari Ausubel. Ausubel (dalam Dahar, 1989: 137) berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Menurut Ausubel (dalam Suyanto, 2005: 147), seorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang telah ia miliki, sehingga skema yang telah ada dapat berkembang atau dapat pula hilang akibat skema yang baru tadi. Belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang yang sedang belajar. Proses mengaitkan fenomena baru dengan fenomena yang telah dimiliki inilah sebenarnya proses konstruksi (Suyanto, 2005: 148). Pertanyaan tadi merupakan suatu fenomena baru dalam diri siswa, sehingga siswa mengalami proses konstruksi dalam dirinya untuk membuktikan pengetahuannya dengan mencari jawaban atas pertanyaan itu. Timbulnya keinginan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tadi akan dapat meningkatkan motivasi anak untuk belajar. Motivasi mempunyai peranan yang sangat strategis dalam aktivitas belajar seseorang. Salah satu prinsip motivasi dalam belajar menurut Djamarah (2000: 120) adalah motivasi berhubungan erat dengan kebutuhan dalam belajar yaitu kebutuhan untuk menguasai sejumlah pengetahuan. Oleh karena itulah anak didik belajar. Jika jawaban yang ingin dicari tadi sudah ditemukan maka jawaban itu merupakan pengetahuan yang dibangun oleh siswa itu sendiri, sehingga pengetahuan yang diperoleh tadi menjadi lebih bermakna (Sanjaya, 2008: 248).
Penerapan teori belajar sosial dapat dilihat dari model pembelajaran yang digunakan, di mana model yang digunakan adalah model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning). Pembelajaran kooperatif berdasarkan pada teori belajar sosial dari Vygostky dan teori konstruktivis (Trianto, 2007: 11), yang masih termasuk pada teori belajar kognitif (Sanjaya, 2008: 248). Kedua teori tersebut menekankan pada pentingnya interaksi dalam pengkonstruksian pengetahuan (Suyanto, 2005: 107). Untuk dapat memunculkan interaksi, maka guru dalam RPP-nya menuliskan bahwa guru membimbing siswa dalam pembentukkan kelompok-kelompok kooperatif.
Selain pada model pembelajaran, penerapan teori belajar sosial juga tampak dari pemilihan metode pembelajaran berupa diskusi. Diskusi akan berjalan apabila masing-masing individu dalam kelompoknya dapat saling menerima antara anggota yang satu dengan yang lainnya, sehingga kebutuhan mereka akan sesuatu dapat tercapai. Jadi, hakikat sosial dalam penggunaan kelompok sejawat adalah aspek utama dalam pembelajaran kooperatif (Trianto, 2007: 41).
Jadi, agar terjadi belajar bermakna maka dalam diri siswa harus ada konsep-konsep relevan yang disebut subsumer (Dahar, 1989: 137). Lebih lanjut dijelaskan bila tidak terdapat konsep-konsep yang relevan tersebut maka informasi baru akan dipelajari secara hafalan. Bila tidak dilakukan usaha untuk mengasimilasikan pengetahuan baru pada konsep-konsep relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif, juga akan terjadi belajar hafalan (Dahar, 1989: 139). Dengan demikian, guru harus selalu berusaha mengetahui konsep-konsep apa yang telah dimiliki oleh siswa dan membantu mengasimilasikan konsep-konsep tersebut dengan pengetahuan baru yang diajarkan. Dalam RPP tersebut, konsep asam dan basa merupakan subsumer dan pengetahuan baru adalah kelompok makanan yang bersifat asam dan yang bersifat basa.
2.3.4 Penerapan Teori Belajar dalam Praktik
Dari hasil pengamatan, nampak bahwa pada saat pembelajaran, teori belajar yang diterapkan adalah teori belajar perilaku, teori belajar kognitif, dan teori belajar sosial. Seperti yang telah diungkapkan pada penerapan teori belajar dalam program pembelajaran.
Teori belajar perilaku tercermin dari adanya perubahan perilaku siswa, ketika sedang melakukan eksperimen. Setelah guru memberikan tanda untuk melakukan eksperimen, maka siswa segera menyiapkan alat dan bahan. Selanjutnya dengan menggunakan petunjuk kerja pada LKS, siswa mulai berprilaku sesuai dengan petunjuk kerja. Adanya perubahan perilaku siswa ketika disuruh oleh guru dan mengikuti petunjuk kerja yang ada, maka pada saat itu siswa sudah belajar. Menurut teori belajar perilaku (Sanjaya, 2008: 237), belajar pada hakikatnya adalah pembentukkan asosiasi antara kesan yang ditangkap panca indera dengan kecendrungan untuk bertindak atau antara hubungan stimulus dan respon (S-R). Hull (dalam Suyanto, 2005: 83) berpendapat bahwa teori Stimulus-Respon (S-R) ditentukan oleh kondisi individu, sehingga menjadi (S-O-R). S adalah stimulus, O kondisi internal organisme, R adalah respon. Jadi, pada intinya individu melakukan proses berpikir sebelum melakukan respon dari suatu stimulus. Perintah yang diberikan oleh guru atau pun oleh petunjuk kerja, merupakan stimulus yang datang dari luar diri siswa. Stimulus ini selanjutnya diasosiasikan di dalam pikiran siswa. Setelah itu munculah respon dari siswayang berupa perilaku.
Ketika siswa melakukan eksperimen, guru terus mendampingi kegiatan sambil memberikan bantuan kepada kelompok yang mengalami kesulitan. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya. Demonstrasi yang dilakukan oleh guru juga merupakan stimulus bagi siswa yang kurang memahami petujuk kerja. Pemberian penguatan berupa pujian merupakan suatu reinforser positif yang dapat meningkatkan perilaku siswa untuk mengikuti kegiatan dengan lebih antusias. Sedangkan yang mengganggu jalannya eksperimen mendapat peringatan (Dahar, 1989: 31). Menurut Suryabrata (2007: 273), pemberian reinforsement menyebabkan perilaku tadi akan dilakukan secara berulang-ulang sampai pada menemukan perilaku berikutnya.
Teori belajar kognitif tampak dari kegiatan pendahuluan, pada saat guru memotivasi siswa dengan mengajukan pertanyaan “ Pernahkah kamu meremas-remas bunga kembang sepatu kemudian ditetesi dengan asam cuka? Apa yang terjadi?” Dalam hal ini, guru sudah mencoba membangkitkan pemahaman siswa tentang konsep asam basa yang sudah dipelajari pada pertemuan sebelunya. Pada teori ini, pemahaman terhadap sesuatu merupakan inti dalam pemecahan masalah, sehingga belajar bukanlah sebagai hafalan belaka (Sanjaya, 2008: 246).
Teori belajar sosial terlihat dari model yang digunakan yaitu model pembelajaran kooperatif, di mana siswa lebih banyak belajar dalam kelompoknya. Mereka diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama di dalam kelompoknya. Seperti, menjadi pendengar, memberikan penjelasan kepada teman, berdiskusi dan sebagainya. Pembelajaran kooperatif disusun dalam sebuah usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok, serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya (Trianto, 2007: 42).
Selain pada model pembelajaran, teori belajar sosial juga tampak dari proses diskusi yang dilakukan oleh peserta didik setelah selesai melakukan eksperimen. Guru membimbing diskusi secara klasikal. Tampak pada saat diskusi ada beberapa siswa, yang mau mengemukakan pendapatnya. Guru memberikan klarifikasi pada jawaban siswa yang kurang tepat. Atas bimbingan guru, guru dan siswa melakukan diskusi. Adanya interaksi antara siswa-siswa, siswa-guru menunjukkan bahwa belajar sudah berlangsung. Jadi, yang merupakan inti dari teori belajar sosial adalah terdapatnya interaksi sosial pada pembelajaran yang salah satu cirinya adalah komunikasi (Suyanto, 2005: 106).
2.3.5 Kritik dan Saran Perbaikan Terhadap Program
Program pembelajaran dalam bentuk RPP yang disusun oleh salah satu guru di SMP Negeri 3 Petang sudah lengkap apabila ditinjau dari segi komponennya. Kelengkapan komponen RPP tersebut (RPP terlampir) sudah sesuai dengan apa yang terdapat pada Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses. Komponen yang dimaksud adalah: (1) identitas pelajaran, Standar Kompotensi, Kompetensi Dasar, Indikator pencapaian pembelajaran, (2) tujuan pembelajaran, (3) materi pembelajaran, (4) metode pembelajaran, (5) langkah-langkah kegiatan pembelajaran yang terdiri dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, kegiatan penutupan (6) sumber belajar, (7) penilaian. Hal ini sejalan dengan apa yang dimaksudkan oleh Muslich (2008: 56). Ini merupakan sebuah keunggulan tersendiri bila kita tinjau dari segi kelengkapan komponennya.
Apabila kita tinjau komponen nomor dua di atas yaitu tujuan pembelajaran, maka ini adalah salah satu kelemahan yang ada pada program. Menurut Sanjaya (2008: 110), ada empat buah komponen yang harus tampak dalam rumusan tujuan pembelajaran. Keempat komponen tersebut adalah: (1) subjek pembelajaran, (2) tingkah laku yang ingin dicapai, (3) kondisi untuk belajar, dan (4) standar minimal kualitas dan kuantitas hasil belajar yang harus dicapai. Sedangkan pada RPP ini tidak menampilkan subjek pembelajaran. Melalui tulisan ini, penulis menyarankan kepada guru, hendaknya dalam merumuskan tujuan pembelajaran memperhatikan keempat komponen tadi.
Sekarang kita tinjau komponen nomor tiga. Pada RPP, penulisan materi pembelajaran sangat singkat. Uraian materi bertujuan untuk membantu guru dalam penyampaian materi sehingga semestinya yang ada di uraian materi adalah ringkasan materi yang akan didiskusikan, dan ini merupakan kelemahan yang penulis temukan. Materi hendaknya dibuat dengan penjabaran singkat dari konsep yang dijadikan materi standar melalui beberapa pertimbangan. Menurut Mulyasa (2008: 142) ada enam buah pertimbangan yang harus diperhatikan dalam mengidentifikasi materi pembelajaran, yaitu: (1) tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial dan spiritual peserta didik, (2) kebermanfaatan bagi peserta didik, (3) struktur keilmuan, (4) kedalaman dan keluasan materi, (5) relevansi dengan kebutuhan peserta didik, dan (6) alokasi waktu.
Berikutnya kita lihat komponen nomor empat yaitu metode pembelajaran. Model pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran kooperatif. Jika kita cermati, pembelajaran kooperatif lebih mengutamakan pada kerjasama antar siswa dan saling ketergantungan dalam struktur pencapaian tugas, tujuan, dan penghargaan. Sehingga terlibatan siswa dalam pembelajaran menjadi semakin besar. Hal ini sejalan pembelajaran perpusat pada siswa (student centered) seperti yang dikemukakan oleh Djamarah (2000: 25); Sanjaya (2008: 214). Pemilihan model ini, merupakan keunggulan berikutnya pada program (RPP) ini. Slavin (1995) menyatakan bahwa terdapat beberapa strategi yang selama ini sering digunakan dalam belajar kelompok kooperatif seperti: Students Teams Achievement Divisions (STAD), Team-Assisted Individualization (TAI), Teams-Games Tournaments (TGT), Jigsaw, Group Investigation (GI), dan Dyadic. Pada program, guru tidak mencantumkan strategi yang akan digunakan. Dan ini adalah kelemahan berikutnya dalam program. Dengan demikian, untuk dapat menggunakan pembelajaran kooparatif yang lebih maksimal diharapkan guru memilih tipe-tipe kooperatif tertentu, tidak menggunakan model kooperatif tersebut secara umum.
Kemudian jika dilihat dari komponen nomor lima yaitu kegiatan pembelajarannya. Ada kelemahan yang penulis temukan yaitu pada bagian pendahuluan. Pada RPP tersebut diungkapkan bahwa guru memotivasi dengan mengajukan pertanyaan “Pernahkah kamu meremas-remas bunga kembang sepatu berwarna kemudian ditetesi dengan asam cuka?Apa yang terjadi? Tampaknya pertanyaan ini terlalu tinggi untuk dikaji oleh siswa. Siswa kurang mampu mengasosiasikan antara pertanyaan yang diajukan oleh guru dengan konsep asam basa yang mereka miliki. Pertanyaan itu kurang memperhatikan tingkat perkembangan kognitif anak. Pada bagian prasyarat pengetahuan ”Utamakan keselamatan kerja, hati-hatilah menggunakan larutan asam sulfat, tidak boleh dicium/disentuh langsung”. Kemudian dilakukan kegiatan pra-eksperimen yaitu guru memperkenalkan alat dan bahan percobaan. Prasyarat pengetahuan merupakan pengetahuan awal yang dimiliki siswa untuk mencapai pengetahuan berikutnya. Prasyarat pengetahuan yang ditulis pada program hendaknya menunjuk kepada konsep awal yang dimiliki siswa berupa ciri-ciri zat yang berfisat asam dan basa. Kemudian prasyarat pengetahuan di atas lebih cocok dimasukkan ke pengetahuan pra-laboratorium.
Pada kegiatan inti, guru memberikan bimbingan kepada siswa dalam pembentukkan kelompok, mendemonstrasikan petunjuk kerja, membimbing kelompok yang mengalami kesulitan membimbing diskusi kelas. Ini adalah keunggulan pada program. Lebih lanjut pada kegiatan penutup. Guru membimbing siswa untuk membuat kesimpulan hasil belajar yang dilanjutkan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari informasi lebih jauh tentang pendalaman materi berupa pemberian tugas. Jadi, dari apa yang dibuat dalam program, tampaknya guru sangat memperhatikan siswa. Apabila kita merenungkan lebih jauh tentang peran guru dalam pembelajaran, maka seorang guru dalam kegiatan pembelajaran berperan sebagai: (1) sumber belajar, (2) fasilitator, (3) pengelola, (4) demonstrator, (5) pembimbing, (6) motivator, dan (7) evaluator (Sanjaya, 2008: 280-292).
Berikutnya kita lihat komponen nomor enam yaitu sumber belajar. terkait materi yang akan diajarkan. Menurut penulis, pembuatan sumber belajar dalam program di atas sudah mengarah pada kontekstual, sehingga pembelajaran menjadi semakin menarik. Mulyasa (2008: 108-110), mengemukakan bahwa pembelajaran berdasarkan pendekatan lingkungan dapat dilakukan dengan dua cara: pertama, membawa peserta didik ke lingkungan untuk kepentingan pembelajaran, kedua, membawa sumber-sumber dari lingkungan ke sekolah. Misalnya membawa kembang sepatu dan bahan-bahan makanan ke sekolah untuk dijadikan bahan eksperimen. Ini adalah sebuah keunggulan dalam program yang dapat penulis temukan. Jadi, seorang guru yang merencanakan sebuah pembelajaran, hendaknya memperhatikan lingkungan kontektual siswa, sehingga siswa menjadi lebih tertarik untuk belajar dan pada akhirnya pembelajaran menjadi lebih bermakna.
Komponen yang terakhir adalah penilaian. Dicantumkan teknik penilaian berupa tes unjuk kerja dengan bentuk instrumen tes uji petik kerja prosedur. Contoh instrumennya yaitu “Lakukan uji asam, basa pada bahan makanan dengan menggunakan bunga kembang sepatu”.
No | Aspek | Skor |
1 | Kesiapan perlengkapan bahan percobaan | 2 |
2 | Melakukan kegiatan dengan benar | 2 |
3 | Memperoleh data dari kegiatan | 2 |
4 | Membuat kesimpulan dari hasil percobaan | 2 |
| Jumlah | 8 |
Pada program penilaian uji petik kerja prosedur, aspek yang ingin dinilai diberikan skor terlebih dahulu sebagai pedoman. Ini adalah keunggulan yang ada pada program (RPP). Hendaknya penilai pembelajaran sesuai dengan pengalaman belajar yang ditempuh dalam kegiatan pembelajaran (Mulyasa, 2008: 145)
2.3.6 Kritik dan Saran Perbaikan Terhadap Praktik Pembelajaran
RPP yang baik adalah RPP yang dapat diimplentasikan secara optimal dalam kegiatan pembelajaran dan pembentukkan kompetensi siswa (Mulyasa, 2008: 154). setelah mengimplementasikan RPP dalam pembelajaran penulis dapat menemukan beberapa keunggulan. Selama pelaksanaan pembelajaran, guru sudah dapat mengelola kelas dengan cukup baik dan secara umum sudah sesuai dengan apa yang direncanakan pada RPP. Selain itu, selama pembelajaran berlangsung guru sudah dapat menjalankan peran seorang guru sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sanjaya (2008: 280-292). Meskipun demikian, ada beberapa kekurangan yang penulis temukan yaitu pada kegiatan awal, kegiatan inti, dan penutup. Pada kegiatan awal, terdapat ketidaksesuaian antara program dengan pelaksanaannya. Di mana pada program, guru menuliskan tujuan pembelajaran tetapi pada saat praktik, guru tidak menyampaiakan tujuan pembelajaran yang ditulis. Hal ini sangat bertentangan dengan sintak model pembelajaran yang digunakan. Prasyarat pengetahuan ”Utamakan keselamatan kerja, hati-hatilah menggunakan larutan asam sulfat, tidak boleh dicium/disentuh langsung”. Tetapi pada pelaksanaannya, guru tidak menyampaikan hal tersebut serta tidak ada asam sulfat pada meja praktikum. Ini merupakan kelemahan dalam pementasan program
Pada kegiatan inti terutama pada pembentukkan kelompok. Guru membimbing siswa dalam pembentukkan kelompok. Pada pembelajaran kooperatif siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang siswa yang sederajat tetapi heterogen baik dalam kemampuan, jenis kelamin, suku/ras dan satu sama lain saling membantu (Trianto, 2007: 41). Kelemahan yang tampak dari pembentukkan kelompok ini adalah jumlah siswa lebih dari 6 orang pada setiap kelompok. Seperti yang tampak pada Gambar 01. Hal tidak sesuai dengan salah satu syarat kelompok dalam pembelajaran kooperatif.
Pada kegiatan inti, guru memberikan instruksi kepada siswa untuk melakukan kegiatan praktikum. Pada saat praktikum, tampak guru memberikan bimbingan kepada kelompok yang kurang memahami petunjuk kerja. Pemberian bimbingan merupakan suatu tindakan positif yang dilakukan oleh guru dan ini merupakan keunggulan dalam praktik pembelajaran. Menurut Sanjaya (2008: 286), proses membimbing adalah proses memberikan bantuan kepada siswa. Ini berarti yang terpenting dalam palam proses pembelajaran adalah siswa. Agar guru dapat memberikan bimbingan kepada siswa, maka guru harus memiliki pemahaman tentang anak yang sedang dibimbingnya. Misalnya pemahaman tentang gaya belajar, bakat dan potensi yang dimiliki anak didik. Selain itu guru juga harus memahami dan terampil dalam merencanakan tujuan dan proses pembelajaran (Sanjaya, 2008: 286).
Pada saat melakukan praktikum siswa tampak serius. Mereka sangat menikmati kegiatan. Ini berarti bahwa siswa memiliki motivasi tersendiri. Motivasi ini muncul dari dalam diri siswa karena mereka merasa tidak tegang saat pembelajaran. Dengan kebebasan yang diberikan oleh guru kepada siswa untuk mengeksperesikan dan mengaktualisasikan diri dalam kelompoknya, siswa tampaknya senang sekali. Ditambah lagi hasil yang mereka peroleh diakui oleh guru sudah tepat. Tindakan seperti itu merupakan salah satu bentuk tindakan yang baik. Penciptaan suasana kelas yang menyenangkan dapat mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik sehingga meningkatkan kualitas pembelajaran (Mulyasa, 2008:187). Untuk itu kepada setiap guru hendaknya menciptakan suasana yang menyenangkan (Joy full learning) dalam pembelajaran. Selain itu pada praktik pembelajaran guru sudah mengurangi dominansinya dalam mengatur perilaku siswa belajar. Guru tidak lagi menjadi nara sumber utama sehingga pembelajaran tidak sepenuhnya terpusat pada guru (teachered centered ke student centered).
Setelah melakukan praktikum, setiap kelompok mengadakan diskusi dalam kelompoknya masing-masing. Dalam kegiatan itu, kemampuan untuk berkomunikasi dengan sesama anggota, mempercayai orang lain, dan keterampilan mengelola konflik, secara langsung diajarkan. Setelah mendapatkan persamaan persepsi tentang hasil praktikum tadi, selanjutnya oleh guru, masing-masing kelompok diminta untuk mempresentasikan hasil yang mereka peroleh ke papan tulis. Siswa secara sadar maju ke papan tulis untuk menuliskan hasil pada tabel pengamatan, seperti yang tampak pada Gambar 02. Ini adalah kelebihan yang tampak dari praktik pembelajaran.
Kesadaran siswa untuk tampil ke depan kelas merupakan wujud dari tanggung jawabnya terhadap kelompok. Pada saat diskusi tadi, mereka sebagai anggota kelompok sudah menentukan orang yang ditugaskan untuk mempresentasikan hasil kerja kelompok. Dengan demikian, pada pembelajaran ini keterampilan kooperatif tingkat awal sudah dapat ditanamkan. Lungren (dalam Trianto, 2007: 46), meyebutkan salah satu keterampilan kooperatif tingkat awal adalah berada dalam tugas, artinya setiap anggota kelompok menjalankan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diembannya.